"Yaela, cuma ama nyokap lo doang ini. Bilang aja tugas sekolah," saran Bela.
"Oke dech. Yaudah, tunggu gua ya," Zi memutuskan.
Tuuut . .Tuuut . .
"Halo,. Bu, maaf ya, teteh Minggu ini nggak bisa pulang, soalnya ada tugas sekolah yang harus dikerjain. Tugas kelompok, dikerjain besok," jelas Zi otp kepada Ibu nya.
"Iya Nak. Nggak papa. Belajar yang rajin ya," doa Ibu Zi, nun jauh di sana.
Jantung Zi berdesir. Kebohongan yang ia ucap pun, ditanggapi, bahkan didoakan oleh Ibunya. Astaghfirullah,,, seandainya . .
"Zi, lo nggak papa kan?" Bela mengejutkan Zi.
"Oh, eh, nggak papa. Cabut yuk," ajak Zi.
- - -
Zi tinggal di sebuah indekost yang tidak terlalu jauh dari sekolahnya, SMANDING. Memakan waktu sekitar 1 jam 45 menit lah, dari rumah hingga indekostnya. Setiap Minggu, ia bisa dengan bebas memilih untuk pulang ke kampung halamannya atau tidak, karena memang jarak yang tidak terlalu jauh & transportasi yang cukup lancar. Ia memang sengaja memilih merantau untuk Sekolah Lanjutan, karena selain keinginan orangtuanya pun, Zi sudah bertekad untuk belajar mandiri sejak dini. Hal ini terbukti ketika umur 7 tahun, ia diantar oleh ayahnya ke rumah nenek di Cilegon, Banten untuk menghabiskan liburan di sana bersama sanak saudara. Kemudian Zi ditinggal pulang ke Lampung oleh ayahnya, setelah cukup, baru dijemput kemudian. Subhanallah. . Zi hanya tersenyum sendiri membayangkan hal itu.
Hari itu, Zi pergi sekolah seperti biasa. Di sekolah, hampir semua mata pelajaran yang diajarkan hari itu, tidak lebih dari 50 % yang ia tangkap, per masing-masing mata pelajaran. Ketika lonceng sekolah berbunyi, menandakan berakhirnya KBM, seketika itu juga Zi bergegas tanpa memikirkan gurunya yang sedang menjelaskan di depan kelas. Ia pulang sekolah dengan terburu-buru. Jalanan sepi. Hanya terik matahari yang menemani langkahnya & debu-debu yang beterbangan seolah menghalangi langkah Zi untuk cepat sampai di rumah. Terowongan rel kereta api yang menjadi jalur menuju rumah Zi tampak berbeda suasana nya saat dilihat Zi dari kejauhan. Ya ! Tampak sesosok manusia mengendarai kereta menuju ke arahnya. Semakin mendekat. . mendekat . .dan . .
"Berhenti.!" Teriak Zi.
Seketika kereta berhenti di hadapan Zi.
"Saya ingin menumpangi kereta itu karena rumah saya masih jauh. Ayolah, kasihani saya. Beri saya tumpangan," pinta Zi pada kusir kereta itu.
Sang kusir menoleh ke arah Zi, menatapnya lekat-lekat seolah-olah ingin mengucapkan sesuatu.
"Segera pulang. Keluarga menunggumu di rumah," ucap sang Kusir, sembari berlalu meninggalkan Zi yang berdiri terpaku.
"Tungguuuuuuuuuuuuu . ." Zi geram. Mengapa kusir itu tak memberi saya tumpangan, padahal ia tahu keluarga saya menunggu di rumah? Aaarrrrgh ! Sial ! pikir Zi.
Zi setengah berlari melanjutkan perjalananannya. Sudah tampak rumahnya dari kejauhan. Namun, mengapa ada yang berbeda ? Bendera kuning yang tertancap di salah satu sudut halaman rumahnya, ditambah kerumunan orang-orang, makin membuat jantung Zi berdegup kencang.
"Mama.!" Zi menerobos masuk kerumunan dan...
Buk !
Zi terbangun dari tidurnya. Huft, alhamdulillah. Syukur, hanya mimpi, batinnya. Ia termenung, membayangkan mimpi yang baru saja dialaminya. Ya ALLAH, seberapa banyak dosa yang telah hamba lakukan terhadap beliau ???
---
"Gua pulkam hari ini Bel," seru Zi dengan mata berbinar ketika bertemu Bela, teman sebangkunya yang amat unik di mata Zi.
"Jangan lupa, oleh-oleh,"pesan Bela.
"Kayak mau kemana aja.?! Lusa juga ketemu," timpal Zi.
"Nah, justru karena itu, makanannya bisa langsung cepat dimakan, nggak nunggu lama-lama," seloroh Bela tak mau kalah.
Memang, sahabat Zi yang satu ini, masih saja tetap berperawakan kurus, bahkan bisa dibilang kerempeng oleh Zi, karena meski sudah makan dan ngemil berkali-kali, tetap saja berat badannya berkisar di bawah 45 kg.! Miris!
Pukul 19.30 WIB.
Zi sampai di surganya, sesuai dengan pepatah, rumahku, surgaku, begitu pikirnya. Setelah berbenah, ia teringat mimpinya beberapa waktu lalu.
"Ibu, teteh sayang dech ama Ibu," ucap Zi pada Ibunya ketika keluarga Zi berkumpul di ruang tamu.
"Kenapa kali teteh ni?" Ibu Zi terheran-heran.
Memang, keluarga Zi menganggap hal itu seperti hal yang agak aneh jika diutarakan. Ayah Zi berprinsip, "Kalau memang memiliki perasaan, tujuan & impian, maka bertindak.! Tak perlu menggunakan & mengungkapkan dengan kata-kata, apa yang dirasakan & diinginkan, tapi, tunjukkan dengan tindakan!" Cukup membuat diri Zi beserta adik-adiknya terbiasa memendam apa yang dirasakan & diinginkan.
Esok sorenya, Zi harus kembali ke indekost nya, melaksanakan tugasnya sebagai seorang pelajar, belajar.
"Ibu, teteh balik ya. Ibu hati-hati disini, jaga kesehatan," ucap Zi.
"Iya Nak. Teteh juga disana hati-hati, jaga kesehatan, makan yang banyak dan teratur. Belajar yang benar, biar cita-citanya tercapai. Ibu sama Bapak disini nggak tahu teteh disana kayak mana, tapi ALLAH Maha Tahu apa yang teteh lakuin," pesan Ibu Zi.
Zi terdiam, menatap wajah Ibunya lekat-lekat, mencium tangan, memeluknya seolah tak ingin lepas dari sosok yang telah membentuk dirinya hingga kini.
Bus yang membawa Zi menuju indekostnya membuat Zi menerawang masa lalunya.
"Kenapa Ibu nggak ngebolehin teteh maen? Teman-teman teteh boleh ama orangtuanya, kenapa Ibu nggak?" bentak Zi sembari menangis di Ruang Tamu rumahnya.
"Ibu bukan nggak ngebolehin maen lah nak, tapi teteh bobok siang dulu. Ntar Bapak pulang, senang ngeliat teteh nurut," jelas Ibu Zi dengan sabar.
"Ibu mah jahat, nggak kayak Ibu teman-teman teteh yang lain, pada baik-baik semua," Tangis Zi semakin keras. Zi berlari menuju kamarnya, menabrak ibunya yang menghalanginya.
"Teh, nggak boleh gitu ama Ibu. Teh, , , Teh . ." Ibu Zi memanggil manggil Zi yang langsung menutup pintu kamarnya.
Zi terisak di tempat tidurnya, kesal. Menghela napas dan tiba-tiba terlintas pikiran,
Mengapa saya tega melakukan hal itu terhadap Ibu, padahal, nggak boleh durhaka ama orangtua, ntar dikutuk kayak Malin Kundang.?
Segera Zi beranjak dari tempat tidurnya, keluar kamar menghampiri Ibunya yang terduduk di Ruang Tamu.
"Bu, maafin teteh Bu .." ucap Zi membuyarkan lamunan Ibunya. Ibunya menoleh, menatap Zi dengan penuh kasih sayang. Bagaimana Zi mendurhakai sosok yang tak pernah menuntut balas atas kebaikan yang beliau lakukan terhadap Zi ?
"Ibu, maafin teteh udah bentak bentak Ibu. Iya, teteh bakal nurut ama Ibu. Teteh bobok siang," isak Zi meminta maaf pada Ibunya.
"Iya, Ibu juga udah maafin,." senyum Ibu Zi semakin membuat Zi bersalah.
"Ibu, maafin. Teteh udah salah sama Ibu. teteh jahat sama Ibu," tangis Zi semakin keras.
Ibu Zi merangkulnya, memeluk Zi erat-erat seolah mengatakan bahwa beliau sudah memaafkan Zi sebelum Zi meminta maaf.
Ya, itu masa lalunya dulu, saat ia masih berumur 5-7 th. Saat ia masih dengan sangat mudah meminta maaf & mengakui kesalahan pada Ibunya. Tapi kini ??? Di usia Zi yang 17 th, Jangankan meminta maaf, berkata jujur pun sudah sangat sulit dilakukan, apalagi mengakui kesalahan. Gengsi terhadap apa yang telah kita perbuat, apalagi meminta maaf kepada Ibunya, seolah diri Zi di posisi kalah. Zi pun tak ingat, kapan terakhir kali ia mengakui kesalahan & meminta maaf terhadap Ibunya.
Astaghfirullahaladzim !
Rinai hujan yang menetes di kaca jendela bus yang ditumpangi Zi, seakan bertanya kepada Zi, "kapan kau akan meminta maaf atas kesalahanmu terhadap Ibumu seperti dulu lagi?"
Saat itu, Zi sangat ingin menemui Ibunya dan berkata . .
"Bu, maafin teteh Bu .. "