Masukkan kata kunci

Kamis, 04 Oktober 2012

Cerpen Suga



Sahabat itu . . . . .

Suga merengut.
Begitulah ia setiap harinya, sepulang sekolah.
Masuk rumah, langsung ke kamar.
Entah apa  yang dikerjakannya, hingga betah mengurung diri seharian.
Ia selalu diam jika ditanya oleh sang mama.
Diajak makan siang pun tak mau.
Sang mama jadi khawatir oleh kelakuan anak semata wayangnya itu.

Ya!!
Suga memang telah berubah akhir-akhir ini.
Tak ada yang tahu penyebab ia berubah menjadi seperti itu.

“Assalamualaikum..,” terdengar suara orang dari luar.
“Waalaikumsalam.Eh,,nak Acha. Mari masuk!” sambut Tante Wulan, sang mama.
“Suga nya ada Tante?“ tanya Acha.
“Oh,,ada di kamarnya tuh. Nggak tahu! Akhir-akhir ini, Suga berubah. Setiap pulang sekolah, langsung masuk kamar. Nggak keluar-keluar kecuali mau berangkat sekolah. Itu aja kadang nggak pamitan sama Tante. Heran deh!” keluh Mama Suga .
“Hmm.. kenapa ya Tante? Masalahnya, dia juga di sekolah kayak gitu Tante! Murung terus. Tiap istirahat, selalu menyendiri di kelas. Diajak keluar nggak mau,” Acha menambahkan.
“Coba deh, kamu tanya sama dia! Mungkin dia mau ngomong sama kamu,” kata Mama Suga.
“Iya deh Tante, Acha coba. Mungkin dia mau cerita,“ kata Acha sembari pergi menuju kamar Suga.
Di depan pintu kamar Suga, Acha mengetuk pintu.
“Ga, ga, lo kenapa sich?“ tanya Acha sewot.
“Nggak! Gua nggak kenapa-kenapa kok. Lo ngapain ke sini? Pulang aja sono! Gua lagi pingin menyendiri!” sahut Suga dari dalam kamar, ketus!
“Yaela.. lo kenapa sich?  Kok jadi ngusir gua?  Lo tuh nggak bakal pernah bisa betah sendirian. Buka pintunya kenapa?” Acha terus mendesak.
“Nggak! Mendingan, lo pergi aja sono deh! Gua lagi nggak pingin di ganggu!“ timpal  Suga.
“Gua nggak bakal pergi, sebelum lo buka pintu ini! Apa gua dobrak aja, pintu ini? Mau nggak? Buka pintu apa dobrak?“ ancam Acha.
Akhirnya, dengan perasaan kesal, Suga membukakan pintu kamarnya.
“Nah, gitu dong. Ini baru namanya Suga. Eh, lo kenapa sich? Kok jadi aneh gini? Nggak di sekolah, nggak di rumah, sama aja cemberutnya. Kenapa sich? Cerita-cerita dong… Buat orang khawatir aja deh! Kasihan tuh, nyokap lo, mikirin lo terus..” Acha nyerocos.
“Nggak! Gua nggak kenapa-kenapa kok!” jawab Suga datar, tanpa ekspresi.
“Nggak mungkin! Lo nggak bakalan diam kalau nggak ada masalah. Biasanya aja lo selalu buat kehebohan di kelas. Tapi, karena lo kayak gini, tu kelas sepi banget kayak kuburan. Hiyyyy..,” Acha bergidik.

Acha dan Suga memang sudah lama akrab. Mereka sudah berteman sejak kecil. Mereka adalah sahabat senasib sepenanggungan. Ada gula, ada semut. Di mana ada Suga, disitu ada Acha. Begitulah orang–orang menyebutnya.

Sudah 3 hari Suga tidak masuk sekolah. Seluruh teman–temannya pun mencoba menghubunginya, tetapi tidak bisa. Teman–temannya pun jadi khawatir, terutama Acha. Ia menghubungi Tante Wulan, tetapi hasilnya nihil. Tak ada jawaban dari Tante Wulan. Akhirnya, sepulang sekolah, ia mendatangi rumah Suga. Ia bertemu dengan Bik Cagal, PRT di rumah Suga.
“Bik, Tante Wulan mana bik?“ tanya Acha.
“Oh.. Nyonya lagi di rumah sakit non,” jawab Bik Cagal .
“Di rumah sakit? Memangnya siapa yang sakit Bik?“ tanya Acha.
“Non Suga,” jawab Bik Cagal.
“Hah? Suga? Suga sakit? Sakit apa Bik? Itu anak ternyata bisa sakit juga ya? Kecentilan banget sich, pake di bawa ke rumah sakit segala. Ya udah Bik, sekarang, aku minta alamat Rumah Sakit nya,” pinta Acha.
“Rumah Sakit Sehat Selalu, Jalan Gatot Subroto no. 25,” jawab Bik Cagal.
“Oh,, makasih ya Bik. Makasih.. banget! Ya udah Bik, aku pamit pulang dulu, mau jenguk Suga, si anak kecentilan itu. Makasih ya Bik. Assalamualaikum..” kata Acha.
“Waalaikumsalam. Hati–hati di jalan non,” kata Bik Cagal.

Sesampainya di Rumah Sakit, ia langsung menuju ke resepsionis. Tetapi, meskipun sudah di cari berkali-kali oleh sang resepsionis, tetap saja tidak ditemukan pasien yang bernama Suga. Acha jadi khawatir. Jangan…jangan…

Keesokan harinya, ketika di sekolah, ia melihat semua teman–temannya menangis tersedu sedu. Ia penasaran. Ia bertanya kepada Firas, sang sekretaris kelas.
“Firas, kenapa kalian semua? Kenapa semua menangis? Ayo ngomong! Ngomong!“ tanya Acha penuh emosi.
“Suga Cha, Suga…“ jawab Firas terputus-putus.
“Suga? Ada apa dengan Suga? Apa yang terjadi dengan Suga? Ayo cerita! Kenapa?“ Acha makin penasaran.
“Suga meninggal Cha! Dia bunuh diri!“ jawab Firas semakin terisak.
“Apa? Suga? Meninggal? Nggak mungkin! Nggak mungkin! Aku nggak percaya! Nggak! Aku nggak percaya!“ Acha berlari meninggalkan kelas disusul teman-temannya, untuk bertakziah ke rumah Suga.

Semua orang berduka. Tidak ada yang menyangka akan kepergian Suga yang begitu cepatnya dengan cara yang sangat tragis. Terlebih keluarganya, khususnya sang mama. Ia benar-benar terpukul.
“Sudahlah Tante. Tak usah terlalu disesali. Mungkin memang ini sudah jalan takdirnya. Ayo pulang Tante. Hari sudah mulai sore,” rayu Acha.
Tante Wulan pun akhirnya menurut.
Setelah sampai di rumah Suga, Tante Wulan meminta Acha untuk menginap, menemaninya karena kesepian. Acha pun mengerti dan mengiyakan. Ia segera menelepon ibunya, untuk berpamitan menginap di rumah Suga.
Ketika hari beranjak malam, Acha diminta Tante Wulan untuk tidur di kamarnya Suga. Awalnya Acha ragu. Namun, setelah Tante Wulan meyakinkan tak akan terjadi apa-apa, Acha pun mengangguk. Ia masuk ke kamar Suga. Berbaring, mencoba memejamkan mata. Namun, hingga pukul 23.30 malam, ia tetap tidak bisa tidur. Ia mengamati sekeliling kamar Suga dan matanya tertuju pada sebuah kaset tape yang tergeletak di meja belajar Suga. Ia penasaran. Ia beranjak dari tempat tidur , kemudian menuju meja itu dengan perlahan, diambilnya kaset itu, kemudian disetelnya.

“… Gua percaya kata pepatah. Kehidupan itu seperti roda yang berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Tapi, gua masih belum siap ketika posisi kehidupan gua, ibarat ketika roda ada di bawah.
Sahabat? Apa sich, arti sahabat yang sebenarnya? Gua penasaran. Orang yang selalu ada di samping kitakah? Yang ada dekat kita di saat kita senang, dan meninggalkan kita di saat susah? Apa itu yang namanya sahabat? Atau, orang yang ngerebut orang–orang yang kita cintai, dengan alasan, dia sahabat kita, jadi, harus tahu semua tentang kita, termasuk orang-orang terdekat kita? Orang yang ngerebut orang yang kita cintai, dengan cara menusuk kita dari belakang? Itu yang namanya sahabat? Yang merasa bangga, tersenyum puas dan tertawa senang, ketika mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan? Meskipun kita merasakan sakit yang luar biasa, karena kehilangan orang yang kita cintai, tetapi seorang sahabat tak menghiraukan penderitaan yang kita alami? Sahabat? Itukah sahabat?
Aku pernah! Aku sudah! Aku sering! Mendapat perlakuan seperti itu dari orang, yang mungkin, bisa disebut sebagai sahabat. Dia ngerebut semua orang terdekat ku, yang aku cinta, yang aku sayang, dengan cara menusuk aku dari belakang. Dia bangga, tersenyum puas dan tertawa senang, ketika ia berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan, merebut orang-orang yang aku sayang! Dia beserta mereka (yang sekarang sudah menjadi miliknya), meninggalkan aku begitu saja! Dia tidak menghiraukanku. Mereka meninggalkanku dalam penderitaan dan  keterpurukan yang amat sangat. Meninggalkan luka yang mendalam, karena aku harus kehilangan orang–orang terdekatku.
Aku sakit! Aku nggak kuat! Aku nggak sanggup, menerima kenyataan ini! Aku nggak tahan..!
Lebih baik aku mati saja, daripada aku harus hidup dalam penderitaan…!“

Acha terhenyak! Sahabat? Itukah dirinya?
Ia masih memikirkan kata-kata Suga. Ketika pukul 00.00, seketika angin berhembus kencang. Lampu kamar Suga seketika padam. Jendela terbuka secara tiba-tiba. Gordyn beterbangan. Setelah itu, ia melihat sesosok bayangan berkelebat dan menuju ke arahnya. Ia ingin berteriak, tetapi tidak bisa. Dan..

Keesokan harinya,,,
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa . . . . . . “ teriak Tante Wulan.
Acha ditemukan terduduk dalam keadaan tak bernyawa di meja belajar Suga dalam keadaan memegang kaset tape yang sudah berwarna merah, berlumuran karena darah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar